Translate!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Monday 16 May 2011

Sepasang Sepatu Sports

Menjadi “sama dan serupa” dengan remaja lain merupakan keinginan dari semua remaja.
Saya ingat benar bagaimana sebagai seorang remaja dalam tahun 1963 saya
merasa harus memiliki sepasang sepatu mutakhir yang sedang “in”.
Persoalannya, bulan lalusport saya baru saja membeli sepasang sepatu kulit.
Tapi, sepatu sport benar benar sedang mode, oleh sebab itu saya datang
kepada ayah minta bantuannya.
“Saya perlu sedikit uang untuk sepatu sport”, ujar saya suatu petang di
bengkel di mana ayah saya bekerja sebagai montir.
“Willie” ayah kelihatannya terkejut.
“Sepatumu baru berumur satu bulan, tapi Mengapa kini kau perlukan sepatu
baru?”
“Setiap orang memakai sepatu sport yah!”
“Sangat boleh jadi nak, Namun hal tersebut tidak menjadikan ayah mudah
membayar sepatu sport ”
Gaji ayah kecil dan sering tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari
hari.
“Ayah, saya tampak seperti bloon memakai sepatu jenis ini ” kataku sambil
menunjuk kepada sepasang sepatu oxford baru.
Ayah memandang dalam dalam ke mataku.
Kemudian ia menjawab, “Begini saja, Kau pakai sepatu ini satu hari
lagi.Besok, di sekolah, perhatikan semua sepatu dari kawan-kawanmu. Bila
seusai sekolah kau masih berkeyakinan bahwa sepatumu paling butut
dibandingkan sepatu kawan kawanmu, ayah akan memotong uang belanja ibumu dan
membelikanmu sepasang sepatu sports”
Dengan gembira saya pergi ke sekolah, keesokan paginya, penuh keyakinan
bahwa hari itu merupakan hari terakhir bagiku mamakai sepatu oxford yang
ketinggalan jaman ini.
Saya lakukan apa yang ayah perintahkan saya lakukan, namun tidak, saya
ceritakan apa yang saya lihat secara teliti.
Sepatu coklat, sepatu hitam, sepatu tennis yang sudah kusam, semua menjadi
pusat perhatianku.
Pada petang hari, saya memiliki perbendaharaan dalam ingatanku betapa
banyaknya teman teman di sekolah yang juga memakai sepatu bukan sport,
bahkan sepatu - sepatu rusak, berlobang, menganga dan lain lain bentuk yang
sudah mendekati kepunahan sebagai alat pelindung kaki.
Namun banyak juga yang memakai sepatu sport yang gagah, yang senantiasa
berdetak detik penuh gaya bila si pemiliknya menghentakkannya dengan gagah
perkasa.
Setelah sekolah usai, saya berjalan cepat ke bengkel di mana ayah bekerja.
Saya hampir yakin bahwa Senin depan saya juga akan masuk kelompok yang
sedang “in”
Setiap saya menghentakkan tumit saya di jalan, saya membayangkan telah
memakai sepatu sport idaman saya.
Bengkel sepi sekali saat itu. Suara yang terdengar hanya denting-denting
metal dari kolong sebuah chevy tua buatan tahun 1956.
Udara berbau oli, namun pada hemat penciuman saya, asyik sekali.
Hanya seorang langganan sedang menunggu ayah yang sedang bergulat di kolong
chevy tua itu.
“Pak Alva” tanya saya kepada langganan yang sedang menunggu, “masih
lamakah?”
“Entah Will. Kau tahu sifat ayahmu. Ia sedang membongkar persneling, namun
bila ia mendapatkan adanya bagian lain yang tidak beres, ia akan
menyelesaikannya juga.”
Saya bersandar pada mobil abu abu itu.
Apa yang bisa saya lihat hanyalah sepasang kaki ayah yang menjulur keluar
dari kolong mobil.
Sambil menjentik jentik lampu belakang chevy, secara tidak sadar saya
menatap kepada kaki ayah.
Celana kerjanya berwarna biru tua, kusam dan lengket terkena oli, lusuh
pula.
Sepatunya, berwarna putih tua…. ah ….bukan hitam muda……, dan sungguh
sungguh butut, sebagaimana mestinya sepatu seorang montir.
Sepatu kirinya sudah tidak bersol, dan bagian kanan masih memiliki sepotong
kecil kulit tipis, yang dahulu bernama sol. Di ujungnya, sebaris staples
menggigit kedua belah kulit kencang kencang, mencegah jempol kakinya
mengintip keluar. Tali sepatunya beriap riap, dan sebuah lubang
memperlihatkan sebagian dari jari kelingkingnya yang terbalut kaus katun.
“Sudah pulang nak? “ayah keluar dari kolong mobil.
“Yes sir” kataku.
“Kau lakukan apa yang kuperintahkan hari ini?”
“Yes sir”
“Nah, apa jawabmu ?” la memandangku, seolah olah tahu apa yang akan saya
ucapkan.
“Saya tetap ingin sepatu sport ” Saya berkata tegas, dan berusaha setengah
mati untuk tidak memandang kepada sepatu ayah.
“Kalau begitu, ayah harus potong uang belanja ibumu…..”
“Mengapa tidak pergi dan membelinya sekarang?” lalu ayah mengeluarkan
selembar $ 10. dan memancing uang receh untuk mencari 30 sen guna membayar
3% pajak penjualannya.
Saya menerima uang itu dan segera berangkat ke pusat pertokoan, dua blok
dari bengkel di mana ayah bekerja.
Di depan sebuah etalase, saya berhenti untuk melihat apakah sepatu sportku
masih dipajang disana. Ternyata masih! $9.95.
Namun uang saya tidak akan cukup bila saya harus membeli paku paku yang akan
dipakukan pada solnya dan menimbulkan suara klak klik yang gagah.
Saya pikir, untuk lari ke rumah dan minta bantuan dana dari mama, sebab
tidak mungkin kembali kepada ayah dan minta kekurangannya.
Pada saat saya teringat kepada ayah, sepatu tuanya tampak membayang
melintasi kedua mataku.
Jelas tampak kebututannya, sisinya yang compang camping, paku paku yang
telah mengintip keluar dan sebaris staples yang umumnya dipakai untuk
menjepit kertas.
Sepatu kulit usang yang dipakainya untuk menghidupi keluarganya.
Pada waktu musim dingin yang menggigit, sepatu yang sama dipakainya
melintasi jalan jalan yang dingin, menuju kepada mobil mobil yang mogok.
Namun ayah tidak pernah mengeluh.
Terpikir olehku, betapa banyaknya benda benda yang seharusnya dibutuhkan
ayah, namun tidak dimilikinya, semata mata agar saya mendapatkan apa yang
saya ingini.
Dan kementerengan sepatu sport yang ada di balik kaca etelase di hadapanku
mulai memudar.
Apa jadinya bila ayah bersikap sepertiku.
Sepatu jenis apa yang saat ini kupakai, bila ayahku bersikap seperti saya
bersikap.
Saya masuk ke dalam toko sepatu itu.
Sebuah rak besar terpampang megah, penuh berisikan sepatu sport yang sungguh
keren.
Di sampingnya, terdapat sebuah rak lain, dengan sebingkai tulisan “obral
besar. 50% discount”.
Dibawah bingkai itu tergeletak sepatu sepatu semodel sepatu ayah, beberapa
generasi lebih muda, tentunya.
Otakku bermain ping pong. Mula mula sepatu ayah yang butut.
Dan sekarang sepatu baru. Pikiran tentang: menjadi “in” dan seirama dengan
remaja lain di sekolah.
Dan kemudian pikiran tentang ayah,…. telah mengalahkannya.
Saya mengambil sepatu ukuran 42 dari rak yang berdiscount.
Dengan segera berjalan ke arah meja kasir, ditambah pajak, jadilah bilangan
$ 6.13.
Saya kembali ke bengkel dan meletakkan sepatu baru ayah di atas kursi di
mobilnya.
Saya mendapatkan ayah dan mengembalikan uang kembalian yang masih tersisa.
“Saya pikir harganya $ 9.95″ kata ayah.
“Obral” kataku pendek.
Saya mengambil sapu, dan mulai membantu ayah membersihkan bengkel.
Pukul lima sore, ia memberi tanda bahwa bengkel harus ditutup dan kami harus
pulang.
Ayah mengangkat kotak sepatu ketika kami masuk ke dalam mobilnya.
Ketika ia membuka kotak itu, ia hanya dapat memandang tanpa mengucapkan
sepatah katapun.
Ia memandang kepada sepatu itu lama-lama, kemudian kepadaku.
“Saya pikir kau membeli sepatu sport”, katanya pelan.
“Sebetulnya ayah, … tapi …. Saya tak sanggup meneruskannya.
Bagaimana saya harus menjelaskannya bahwa saya sungguh ingin menjadi
seperti ayah?
Dan bila saya tumbuh menjadi dewasa, saya sungguh ingin menjadi seperti
orang baik ini, yang Tuhan berikan kepada saya sebagai ayah saya.
Ayah meletakkan tangannya pada bahu saya, dan kami saling memandang untuk
waktu sesaat.
Tidak ada kata kata yang perlu dikatakan. Ayah menstarter mobil, dan kami
pulang.
Terima kasih Tuhan, karena engkau telah memberiku seorang ayah yang baik dan
bertanggung jawab.
Read More..

Sifat Kepiting

Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting, tapi tidak banyak yang tahu sifat
kepiting.Semoga Anda tidak memiliki sifat kepiting yang dengki.
Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan kepiting sawah.
Kepiting itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepiting itu dengan mudah ditangkap di malam hari, lalu dimasukkan ke dalam baskom/wadah, tanpa diikat.
Keesokkan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus dan lalu disantap
untuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaan
ini, kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom,
sekuat tenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat.
Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun hasil
buruannya selalu berusaha meloloskan diri.
Resepnya hanya satu, yaitu si pemburu tahu betul sifat si kepiting.
Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari baskom,
teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar.
Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagi temannya
akan menariknya turun… dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar.
Keesokan harinya sang pemburu tinggal merebus mereka semua dan matilah
sekawanan kepiting yang dengki itu.
Begitu pula dalam kehidupan ini…
tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu.
Yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita mengalami
kesuksesan kita malahan mencurigai, jangan-jangan kesuksesan itu diraih
dengan jalan yang nggak bener.
Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yang mengandung unsur kompetisi,
sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidak segera
kita sadari tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri.
Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau
persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting
dari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya.
Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bisa juga kalah dalam
suatu persaingan, namun yang pasti kita menang dalam kehidupan ini.
Pertanda seseorang adalah ‘kepiting’:
1. Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi)
yang sudah lampau dan menjadikannya suatu prinsip/pedoman dalam
bertindak
2. Banyak mengkritik tapi tidak ada perubahan
3. Hobi membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahui kelemahan
dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk menarik kepiting-kepiting yang
akan keluar dari baskom dan melupakan usaha pelolosan dirinya sendiri.
Read More..

Thursday 12 May 2011

Sang Alkemi

Pernahkah anda mendengar istilah Alkemi? Alkemi dikenal sebagai sebuah ilmu yang mampu mengubah besi menjadi emas. Dalam banyak kisah, beberapa orang menganggapnya sebagai sebuah sihir belaka, tetapi yang lain percaya bahwa ilmu itu benar-benar ada. Dan, siapa yang tak tergiur untuk bisa menguasai ilmu alkemi? Hanya dengan kemampuan alkemi, ia bisa mengubah besi menjadi emas dan tentu menjadi kaya-raya.
Alkisah, di sebuah negara di Timur ada seorang Raja yang hendak mencari orang yang benar-benar mengerti tentang alkemi. Sudah banyak orang datang pada Raja, tetapi ketika diuji, mereka ternyata tidak mampu mengubah besi menjadi emas.
Suatu ketika seorang menteri berkata pada Raja bahwa di sebuah desa terdapat seseorang yang hidup sederhana dan bersahaja. Orang-orang di sana mengatakan bahwa ia menguasai ilmu alkemi. Segera saja Raja mengirimkan utusan untuk memanggil orang itu. Sesampainya di istana, Raja mengutarakan maksudnya ingin mempelajari ilmu alkemi. Raja akan memberikan apa yang diminta oleh orang itu. Tetapi apa jawab orang desa itu, “Tidak. Saya tidak mengetahui sedikit pun ilmu yang Baginda maksudkan.”
Raja berkata, “Setiap orang memberitahu aku bahwa engkau mengetahui ilmu itu.”
“Tidak, Baginda,” jawabnya bersikeras. “Baginda mendapatkan orang yang keliru.”
Raja mulai murka dan mengancam. “Dengarkan baik-baik!” kata Raja. “Bila kau tak mau mengajariku ilmu itu, aku akan memenjarakanmu seumur hidup.”
“Apa pun yang Baginda hendak lakukan, lakukanlah. Baginda mendapatkan orang yang keliru”
“Baiklah. Aku memberimu waktu enam minggu untuk memikirkannya. Dan, selama itu kau akan dipenjara. Jika pada akhir minggu ke enam kau masih berkeras hati, aku akan memenggal kepalamu.”
Akhirnya orang itu dimasukkan ke dalam penjara. Setiap pagi Raja datang ke penjara dan bertanya, “Apakah kau telah berubah pikiran? Maukah kau mengajariku alkemi? Kematianmu sudah dekat, berhati-hatilah. Ajari aku pengetahuan itu.”
Orang itu selalu menjawab, “Tidak Baginda. Carilah orang lain. Carilah orang lain yang memiliki apa yang Baginda inginkan, saya
bukanlah orang yang Baginda cari.”
Setiap malam ada seorang pelayan yang melayani orang itu dalam penjara.
Pelayan itu berkata bahwa Raja mengirimnya untuk melayani orang itu sebaik-baiknya. Pelayan itu menyapu lantai serta membersihkan ruangan penjara itu. Pelayan itu juga selalu mengantarkan makanan dan minuman untuk orang itu, memberikan simpati kepadanya, melakukan apa saja yang diminta oleh orang itu, dan bekerja apa saja selayaknya seorang pelayan. Pelayan itu selalu menanyakan, “Apakah anda sakit? Apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk anda? Apakah anda lelah? Bolehkah saya membersihkan tempat tidur anda? Maukah anda bila saya mengipasi anda hingga anda tertidur, udara di sini panas sekali.” Dan, segala sesuatu yang bisa pelayan itu lakukan, maka ia lakukan saat itu juga.
Hari terus belalu. Dan, kini tinggal satu hari lagi sebelum kepala orang itu dipenggal. Pagi hari Raja mengunjungi dan
berkata, “Waktumu tinggal sehari.
Ini kesempatan bagimu untuk menyelamatkan nyawamu sendiri.”
Tetapi orang itu tetap saja berkata, “Tidak Baginda. Yang Baginda cari bukanlah hamba.”
Pada malam hari, sebagaimana biasa pelayan itu datang. Orang itu memanggil pelayan itu untuk duduk dekat dirinya kemudian diletakkan tangannya di bahu pelayan itu dan berkata, “Wahai orang yang malang. Wahai pelayan yang malang. Engkau telah berlaku sunguh baik terhadap diriku. Kini aku akan membisikkan di telingamu sebuah kata tentang alkemi. Sebuah kata yang akan membuatmu mampu mengubah besi menjadi emas.”
Pelayan itu berkata, “Aku tak tahu apa yang kau maksudkan dengan alkemi.
Saya hanya ingin melayani anda. Saya sungguh sedih bahwa besok anda akan dihukum mati. Itu sungguh mengoyak hatiku. Saya harap saya bisa memberikan jiwa saya untuk menyelamatkan anda. Seandainya saya bisa, sungguh saya sangat bersyukur.”
Sang alkemi menjawab, “Lebih baik aku mati daripada memberikan ilmu alkemi ini kepada orang yang tidak layak menerimanya. Ilmu yang baru saja aku berikan kepadamu dalam simpati, dalam penghargaan, dan dalam cinta, tak akan kuberikan kepada Raja yang akan mengambil nyawaku besok. Mengapa demikian?
Karena engkau pantas menerimanya, sedangkan Raja itu tidak.”
Esok harinya, Raja memanggil sang alkemi dan memberikan peringatan terakhir.
“Ini adalah kesempatan terakhirmu. Kau harus mengajariku ilmu alkemi, bila tidak lehermu harus dipenggal.”
Sang alkemi menjawab, “Tidak Baginda, anda mendapatkan orang yang keliru.”
Raja pun, “Baiklah. Aku putuskan kau untuk bebas, karena kau telah memberikan alkemi itu padaku.”
Sang alkemi keheranan, “Kepadamu? Saya tidak memberikannya pada Baginda Raja. Saya telah memberikannya pada seorang pelayan.”
“Tahukah kau, bahwa orang yang melayanimu setiap malam adalah aku,” jawab sang Raja.



Banyak orang menginginkan emas dalam hidupnya dengan mempelajari alkemi. Tetapi saat ia mencapai tujuannya, bukan emas yang ia temukan, justru ia sendiri menjadi emas itu.
Read More..